BONEKU.COM-Dulu zaman para founding father negeri ini musyawarah-mufakat menjadi sebuah hal yang paling mendasar dalam menyelesaikan persoalan persoalan di negeri ini. Mulai dari menyiapkan kemerdekaan, membentuk dasar negara bahkan sampai memilih presiden serta mengurus masalah masalah kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu fundamentalnya musyawarah mufakat sampai menjadi sila ke 4 pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia dan merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia.
Para founding father kita telah memberikan teladan bagaimana musyawarah-mufakat menjadi jalan paliing bijak dalam menyelesaikan seluruh problematika bangsa untuk mendapatkan keputusan terbaik yang di setujui pihak mayoritas tanpa mengorbankan pihak minoritas bahkan mendapat dukungan penuh dari pihak minoritas. Pendeknya musyarawah-mufakat menjadi ciri demokrasi ala Indonesia dan merupakan warisan nilai agung dari budaya Indonesia. Lalu mengapa Musyawarah-mufakat tidak membumi di Indonesia? Bahkan terkesan mulai terkikis dari demokrasi Indonesia?
Jawabannya dahulu para founding Father kita dalam menyelesaikan persoalan persoalan bangsa dimulai dengan niat apa yang mereka lakukan semata mata untuk kepentingan bangsa bukan untuk kepentingan golongan tertentu apalagi pribadi. Hal ini jelas ditunjukan dalam piagam jakarta dengan menghapus tujuh kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah bentuk kenegarawan para founding father Indonesia demi kepentingan ke-Indonesiaan tanpa mengurangi nilai dari piagam jakarta itu sendiri yang hasilnya Dasar Negara kita mampu menyatukan Indonesia dari sabang sampai merauke dan mampu mengayomi seluruh kalangan baik mayoritas maupun minoritas.
Bagaimana dengan musyawarah mufakat saat ini? Musyawarah-mufakat yang dahulu prosesnya sederhana sekarang menjadi hal yang sulit bahkan mampu menghabiskan biaya milyaran rupiah lebih parahnya lagi adanya pergeseran nilai kalau dahulu musyawarah- mufakat adalah sebagai jalan mengatasi segala problematika bangsa saat ini musyarawah-mufakat telah bergeser menjadi  vested interest (kepentingan pribadi). Vested interest dalam kepentingan politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan inilah yang telah menggerus dan menenggelamkan nilai nilai Musyawarah dan mufakat.
Walaupun tidak tepat juga dikatakan kalau musyawarah-mufakat tidak dilaksanakan dalam praktek demokrasi di Indonesia. Musyawarah- mufakat tetap dilaksanakan namun sering terjadi penyimpangan atau sengaja disimpangkan. musyawarah-mufakat saat ini sering menjadi bagian dari bargaining position untuk menyelamatkan interest politik dan ekonomi . Bukan cara untuk mengambil keputusan yang sebaik-baiknya. Contohnya, penyimpangan musyawarah-mufakat dalam pengambilan keputusan di parlemen. Pertama, musyawarah-mufakat dijadikan alat delaying. Mereka yang mengutamakan musyawarah-mufakat biasanya mereka yang berada dalam posisi politiknya kalah. Sehingga terus-menerus memaksakan delaying dalam pengambilan keputusan. Tapi mereka yang posisi politiknya dominan, langsung menginginkan pengambilan keputusan dengan cara voting. Kedua,  musyawarah-mufakat dijadikan alat untuk bagi-bagi kekuasaan. Kesimpulannya, delaying tadi semata-mata bargaining politik, bukan untuk mengambil keputusan yang terbaik.
Seharusnya parlemenlah yang menjadi teladan yang bisa menjalankan musyawarah-mufakat dalam proses pengambilan keputusan. Nyatanya tidak demikian. Bahkan nyaris tiap keputusan selalu dihasilkan melalui voting. Betul, wakil rakyat itu senantiasa bermusyawarah terlebih dahulu sebelum voting. Namun proses musyawarah di DPR kerap melahirkan perdebatan ala jalanan. Bahkan terkesan sebatas pemaksaan kehendak,hanya kehendaknya lah yang benar.
Sebenarnya voting itu tidak haram, karena para founding father pun juga melakukan voting contohnya dalam rapat BPUPKI. Cuma bedanya, mereka melakukan voting dengan nilai kebaikan dan keikhlasan semata mata demi kepentingan bangsa. Artinya, mereka yang minoritas pun mengikuti keputusan voting dengan ikhlas. Tapi kalau sekarang situasi dan nilainya berbeda, kalau yang posisinya minoritas dan tidak menguntungkan akan berusaha terus terus-menerus berusaha menunda voting. Sementara yang berada di posisinya mayoritas atau menguntungkan, menekankan untuk segera melakukan voting dalam pengambilan keputusan. Padahal, voting merupakan bagian dari musyawarah mufakat juga. Artinya, voting merupakan cara musyawarah yang baik juga ketika tidak mencapai mufakat apabila dimulai dengan niat yg ikhlas seperti yang ditunjukan olehnpara founding father kita. Sehingga, voting jangan digunakan untuk membunuh minoritas. Sementara yang minoritas bertahan dari cengkeraman mayoritas dengan berbagai cara agar mendapat porsi kekuasaan.
Memang harus diakui tantangan zaman sekarang tentu berbeda dengan keadaan zaman di tahun 1945 pada saat negara ini masih merupakan sebuah embrio, tantangan sekarang jauh lebih global dan kompleks. Namun itu bukan berarti kita mengabaikan nilai nilai luhur dalam musyawarah-mufakat sebagaimana telah menjadi dasar Negara kita dalam Pancasila dan UUD 1945 sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Tidak menjadikannya hanya sekedar simbol dan text book semata.
kita tidak boleh melupakan bahwa tujuan kemerdekaan RI tetap sama dari dulu hingga sekarang, yaitu mensejahterakan rakyat, melindungi masyarakat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Jadi, jangan sampai tujuan kemerdekaan tersebut dikorbankan demi interest politik dan ekonomi kepentingan dan golongan tertentu. Ini jg menegaskan bahwa interest politik dan ekonomi tidaklah salah. Namun jangan sampai interst menyimpangkan tujuan bernegara dan berbangsa.
Amanat Kekuasaan itu harus mengedepankan kepentingan rakyat. Pengelolaan ekonomi harus untuk kepentingan rakyat. Walaupun kedengarannya klise, tetapi itu adalah amanat dari UUD 1945 yang sejak dahulu tidak pernah berubah karena itulah tujuan bernegara yang dipelopori oleh para founding father kita. 
Pada akhirnya mari kita kembali menjadikan musyawarah-mufakat dengan seluruh nilai nilai kebaikannya menjadi problem solving dan rule mode dalam setiap masalah berbangsa dan bernegara, musyawarah-mufakat yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas segala galanya bukan musyawarah-mufakat sebagai jalan untuk memperjuangkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu. 
Terakhir izinkan kami mengutip surah ash-sura:38 
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS.ash-Shura:38)
(Dray Vebrianto, S IP.,M Si.)
Kepala Kesbanpol & Linmas Kab Bone.
Baca Juga:  Selisih 38 Suara, Hanura Gagal Pertahankan Kursinya di Dapil 3