Haryudi R. Organizer Kesenian & Penulis

 

BONEKU.COM–Tana Bone, Senin 26 Februari 2024, di Aula PKM IAIN Bone. Malam itu langit tertutupi awan tebal, sesekali suara guntur bergemuruh. Tampak dari luar gedung-gedung kampus tidak banyak berubah. Penonton berdatangan dan bergegas, karena rintik hujan tak terhindarkan. Pertunjukan sebentar lagi akan dimulai. Satu-persatu mereka mengisi daftar tamu, sembari menunggu pintu terbuka, beberapa ada yang melihat-lihat pajangan buku dan ada pula yang berbincang-bincang.

Pertunjukan telah dimulai. Mataku tertuju pada buku-buku yang telah tersusun rapi di atas meja, toples yang berisi koin, di sampingnya sebuah tas kain berwarna merah dan songko’ recca. Lalu di ruang itu sebuah standing lamp antik berwarna merah yang berada di belakang meja. Sepertinya saya diajak mundur beberapa puluh tahun ke sebuah ruang yang belum saya kenali diawal pertunjukan monolog “Belanja Citra”.

Seorang perempuan duduk di kursi berwarna merah membelakangi sambil menghembuskan asap rokok ke atas. Tak lama dia berbalik dan berkata, “Ada Apa?” “Apa ada yang salah?” “Saya harus Apa?” Dia adalah Andi Bunga salah satu tokoh yang dilakonkan dalam monolog ini. Selain Andi Bunga, seorang tokoh yang bernama Puang Masri juga menjadi kisah yang penting. Dalam kisahnya mereka adalah perempuan yang menghadapi tuntutan tradisi uang panai’ dalam pernikahan suku Bugis dan Makassar.

Baca Juga:  JELANG HJB, BUPATI BONE: MATTOMPANG ARAJANG DI GELAR SECARA TERBUKA

Andi Bunga tokoh dalam monolog "belanja citra".

Andi Bunga di usianya hampir 50 tahun memutuskan akan bercerai, karena baginya pernikahan ini tidak dilandasi dengan cinta dan kasih sayang. Tetapi kedua keluarga telah bersepakat tanpa ada persetujuan sama sekali dengannya. Keputusannya untuk bercerai mungkin sudah dipertimbangkan dengan matang, walau Andi Bunga abai terhadap dampak psikologis dan sosial yang akan dihadapi kedua anaknya. Pada konteks inilah pentingnya perempuan atau sebut saja Andi Bunga diberikan hak untuk memilih dan kesempatan berbicara atas pernikahan yang akan dia lalui itu.

Bagi Andi Bunga, menghadirkan cinta tidak bisa didorong dari kesepakatan keluarga atau karena keterpaksaan saja. Cinta itu tidak seperti rumput, yang bisa tumbuh kapan dan dimanapun. Jika waktu bisa menumbuhkan cintanya, butuh berapa lama lagi ia menanggung derita di usianya yang hampir 50 tahun.

Baca Juga:  Memasuki Tahapan Kampanye Bawaslu Gelar Rapat Pemantapan Pengawasan

Pada saat yang bersamaan Tokoh Puang Masri juga diceritakan. Seorang pria bernama Hasan akan melamarnya, singkat ceirta karena diberatkan dengan uang panai’ dan juga beberapa persyaratan. Alih-alih memenuhinya ternyata Hasan tak pernah kembali lagi. Sedangkan Puang Masri dengan keyakinannya masih terus menunggu Hasan. Apakah niat baik Hasan terhalangi karena tradisi uang panai’ yang berat itu?

Uang panai’ memang telah menjadi perbincangan umum di tengah masyarakat mutakhir ini. Apalagi angka yang begitu fantastis, sebut saja ratusan juta hingga milliaran rupiah. Karena angka yang begitu besar, media-media juga memberitakan dengan judul yang bombastis pula. Di sebuah kasus kadang kala uang panai’ dilekatkan pada status sosial, pendidikan, dan fisik. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula uang panai’ dan seterusnya.

Melalui riset panjang Dwi Lestari yang juga sebagai aktor pada pertunjukan monolog “Belanja Citra”, menawarkan perspektif baru dengan kisah dua perempuan yang dihadapkan dengan tradisi uang panai’. Kesengsaraan yang diderita Andi Bunga dan Puang Masri begitu menyentuh dan menyedihkan, tetapi sekaligus aktor ingin menggugat apakah tradisi uang panai’ masih dibutuhkan di zaman ini jika orientasinya sekadar citra saja. Apakah memang betul perempuan tak diberi kesempatan untuk menentukan atau bahkan memilih pasangan hidup dalam konteks tradisi uang panai’?

Baca Juga:  Kebakaran 3 Rumah di Pompanua Telan 1 Korban Jiwa

Dalam konteks sosial budaya Sulawesi Selatan, sebagian masyarakat menganggap tradisi uang panai’ menjadi momok yang harus dipenuhi tanpa mempertimbangkan hal-hal yang lebih substansial. Pada perspektif yang berbeda, beberapa masyarakat masih melanggengkan tradisi uang panai’ karena ini adalah bagian dari proses ritual pernikahan.

Tiba-tiba suara telepon Andi bunga terdengar, dia sepertinya berbicara dengan seseorang, lalu ia bergegas dengan membawa berkas karena tak ingin telat dengan sidang perceraiannya. Menurutnya, sidang percerainnya itulah yang akan mengakhiri belenggu tradisi uang panai’ yang dipakasan. Dengan percaya diri di akhir pertunjukan ini Andi Bunga dengan tegas berkata, Silahkan lanjutkan pandangan kalian, saya mau bahagia!” Cahaya mulai redup dan pertunjukan monolog “Belanja Citra” selesai.

Suara tepuk tangan penonton memecah sepi, saat Dwi Lestari telah menampilkan karyanya malam itu di kampus IAIN Bone.

Untuk apa melestarikan tradisi jika itu merenggut masa depan kita? Silahkan lanjutkan pandangan.