Catang Pinggir:   Bahtiar Parenrengi
BONEKU.COM-Saat memutuskan untuk pulang kampung, sejumlah sahabat sempat protes. Kok pulang ke Bone? Ngapain pulang? 
Sambil tersenyum saya menatap sahabat saya. Pertanyaan cukup menggelitik. Cukup menggoda untuk membatalkan keputusan tersebut.
Pulang adalah sebuah keputusan. Sebuah pilihan. Pilihan terbaik diantara sejumlah pilihan. Pilihan, setelah menetap sekian lama di Makassar untuk sebuah pengembaraan di dunia pendidikan. 
Walau sejumlah sahabat protes, pilihan itu tetap menjadi pilihan yang tepat. Tetap menjadi pilihan yang final. Pilihan yang harus dilewati, apapun resikonya. Pulang.
                  ***
Pulang, bukanlah sebuah judul novel Tere Liye. Pun tak ada hubungannya dengan judul buku novel karya Leila S. Chudori yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2013.
Tentu bukan. Bukan, karena kedua buku ini lahir belakangan. Pulang, adalah sebuah keputusan. Keputusan yang bisa
diartikan, kembali pada tempat terakhir setelah merasa lelah.
Tentu padanannya tak berbeda dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pu·lang  berarti pergi ke rumah atau ke tempat asalnya; kembali (ke); balik (ke)
Tujuh tahun lebih, bukanlah waktu yang singkat. Berinteraksi dengan sejumlah sahabat dari berbagai daerah, dari berbagai suku, dari berbagai agama tentu telah menanamkan persaudaraan yang mendalam.
Tapi itulah hidup. Harus memilih. Harus menetapkan sebuah  pilihan, kembali ke kampung halaman.
Walaupun pilihan tersebut, yang oleh sebahagian orang tak terlalu menjanjikan.
                ***
Pulang. Kembali datang. Kembali ke kampung halaman dengan setumpuk buku. Buku-buku yang sempat terbeli ataupun oleh-oleh dari sahabat menjadi sebuah nilai yang tak terhingga.
Ratusan buku dari berbagai judul tersebut menjadi hiasan kamar. Menjadi teman disetiap saat. Menjadi rujukan serta daftar pustaka saat melayangkan goresan ke beberapa media.
Selain menjadi agen sejumlah media cetak, saya pun membuka lapak buku dari berbagai penerbit. Tentu bukan kebiasaan baru. Karena saat di kampus, aktivitas ini menjadi pilihan sambil menggelar kegiatan lain.
Kesibukan awal di kampung halaman telah menjadi catatan tersendiri. Hingga suatu hari mewujudkan sebuah gagasan menerbitkan sebuah media lokal bernama Bone Pos.
Kehadiran Tabloid Bone Pos diawal tahun 2000, mendapat sambutan hangat dari pembaca. Kehadirannya selalu dinantikan, walau sering telat. Sebuah persembahan untuk Bone. Karena sebelumnya, belum satu pun media lokal yang muncul pasca reformasi. Inilah wujud kecintaan terhadap tanah leluhur. I Love Bone. 
Berbagai dinamika telah menjadi hiasan hidup yang bisa mendewasakan. Tantangan adalah pelajaran berharga untuk meniti proses hidup yang lebih baik.
Butuh kesabaran, seperti pesan leluhur,
Komuturusiwi Nafessummu, padaitu mutonanginna lopi Masebbo’E. Pesan ini mengandung arti, Kalau kamu menuruti nafsumu, sama saja engkau menumpang perahu bocor.
Pesan leluhur sangat banyak bisa dijadikan instrumen hidup. Banyak rambu yang telah diberikan, seperti “Iyyapa narisseng mukkurui sewwae jama-jamang narekko purani rilaloi” (Barulah dapat diketahui kedalaman dan luasnya suatu sungai, kalau sudah kita arungi atau seberangi)
Pesan ini memiliki maksud: sulit tidaknya sebuah pekerjaan ataupun suatu usaha baru dapat diketahui jika telah pernah kita kerjakan atau alami.
I Love Bone, sebagai wujud cinta terhadap warisan leluhur. Warisan itu harus dijaga. Ibarat Tulang (arti Bone dalam bahasa Inggris) yang memiliki nilai historis harus terus dijaga. 
Atau “tumpukan pasir” (arti Bone dalam bahasa Bugis Bone) harus diperjuangkan. Harus dibela karena kita mencintainya.
Roda kehidupan terus berputar, bak cerita masa lalu Kerajaan Bone. Kita memiliki cerita masa lalu yang berbeda. Karena disetiap masa ada pelakunya. Setiap pelaku ada masanya. 
Yang oleh Ali Syariati ditegaskan bahwa sejarah adalah gerakan ummat manusia sepanjang alur waktu. 
Ali Syari’ati lebih lanjut menjelaskan bahwa manusia merupakan kehendak Allah yakni kehendak serta kesadaran yang mutlak. Dalam disiplin antropolgi, menurut Syari’ati manusia adalah wakil Allah di dunia, merupakan khalifah-Nya di bumi.
Kita memiliki sejarah masing-masing. Sehingga mantan Presiden Soekarno menegaskan bahwa, jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Ketika lupa, kita akan hilang. Seperti kata
Pramoedya Ananta Toer, Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. 
Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Olehnya itu, setiap orang Bone harus memiliki peran, meliki karya yang bisa digoreskan dalam sejarah. Dan itulah wujud kecintaan, I Love Bone.(*)
Baca Juga:  Tokoh Masyarakat Angkat Bicara Soal Penutupan Akses Pelabuhan Bajoe