Luka Sosial Pasca Konflik

Kabupaten Bone baru saja melewati hari-hari penuh gejolak. Pertengahan Agustus 2025, aksi protes besar-besaran meletus akibat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Massa dari mahasiswa, pelajar, hingga warga biasa turun ke jalan, membakar ban, memaksa masuk ke kantor pemerintah, dan terlibat bentrokan dengan aparat. Gas air mata dan water cannon dikerahkan. Bahkan, publik dikecewakan ketika bupati dan wakil bupati tidak hadir menemui demonstran. Pasca konflik ini, situasi Bone memang perlahan mereda, tetapi luka sosial masih terasa. Rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah daerah terkikis. Dalam ingatan kolektif warga, pemerintah bukan hadir memberi penjelasan dan solusi, melainkan menghindar dari tatap muka langsung. Dalam ilmu sosial, peristiwa semacam ini sering disebut sebagai krisis legitimasi, di mana keabsahan pemerintah dipertanyakan karena gagal menjawab kegelisahan rakyat.

Inti Persoalan: Bukan Sekadar Angka Pajak

Pemerintah daerah berdalih bahwa kenaikan PBB tidak sebesar isu yang beredar. Menurut pejabat, rata-rata kenaikan hanya sekitar 65 persen, sementara isu di publik berkembang hingga 300 persen. Namun, bagi masyarakat, perdebatan angka hanyalah sebagian kecil masalah. Inti persoalan terletak pada proses dan rasa keadilan. Pertama, publik merasa kebijakan diterapkan tanpa sosialisasi yang memadai. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) tiba-tiba menyodorkan angka baru yang mengejutkan. Tanpa penjelasan yang transparan, masyarakat merasa ditindas oleh regulasi yang datang mendadak. Kedua, waktu penerapan kebijakan dianggap tidak tepat. Penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) baru di tengah tahun menimbulkan kesan bahwa aturan diberlakukan tergesa-gesa. Padahal, secara hukum, dasar perhitungan pajak mestinya ditetapkan per 1 Januari setiap tahun pajak. Ketika aturan hukum tidak konsisten, rasa keadilan publik ikut tercederai. Ketiga, masyarakat kecil petani, pedagang pasar, dan pemilik rumah sederhana menjadi kelompok paling terdampak. Mereka merasakan beban tambahan di tengah kondisi ekonomi pasca pandemi dan gejolak harga kebutuhan pokok. Pajak, yang sejatinya adalah instrumen gotong royong untuk pembangunan, justru terasa sebagai beban yang memberatkan hidup sehari-hari.

Baca Juga:  Talk Show di Radio SBB, Bupati Bone Terpilih Paparkan Visi Misi Bidang Pertanian

Pemerintah Menunda, Tapi Apakah Cukup?

Di bawah tekanan aksi massa, pemerintah akhirnya mengumumkan penundaan kenaikan PBB-P2 dan menjanjikan kajian ulang. Langkah ini patut diapresiasi, tetapi tidak cukup. Sebab, penundaan hanyalah menahan ledakan, bukan menyelesaikan sumber masalah. Pemerintah harus berani melakukan evaluasi menyeluruh: mulai dari mekanisme penetapan NJOP, sistem komunikasi publik, hingga keberpihakan pada kelompok rentan. Tanpa itu semua, potensi konflik serupa bisa muncul kembali di tahun depan ketika kebijakan fiskal kembali diaktifkan.

Pajak dan Krisis Kepercayaan

Dalam teori sosiologi politik, pajak adalah bentuk paling konkret dari kontrak sosial antara negara dan warga negara. Masyarakat bersedia menyerahkan sebagian pendapatannya dengan keyakinan bahwa negara akan menggunakannya untuk kepentingan bersama: membangun jalan, menyediakan layanan publik, dan menjamin kesejahteraan. Namun, kontrak sosial ini rapuh ketika pemerintah gagal menunjukkan transparansi dan akuntabilitas. Di Bone, konflik pajak ini bukan hanya soal rupiah, melainkan soal kepercayaan. Warga bertanya-tanya: uang pajak ini benar-benar digunakan untuk pembangunan, atau hanya mengalir ke kantong elite? Ketika jawaban itu tidak jelas, wajar jika publik melawan. Demonstrasi bukan semata reaksi spontan, melainkan ekspresi dari rasa frustasi terhadap pemerintah yang dianggap jauh dari aspirasi rakyatnya.

Dimensi Politik yang Mengiringi

Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa konflik sosial kerap dimanfaatkan oleh kepentingan politik. Isu pajak yang seharusnya murni ekonomi, bisa saja ditunggangi oleh kelompok tertentu yang masih menyimpan agenda pasca Pilkada. Dugaan mobilisasi massa dari luar daerah menambah rumit situasi. Namun, menyalahkan “penunggang gelap” saja tidak cukup. Jika kebijakan pajak dijalankan dengan baik sejak awal jelas, transparan, dan adil maka ruang bagi manipulasi politik akan sangat sempit. Konflik ini tetap berakar pada kesalahan pemerintah sendiri dalam mengelola komunikasi dan kepekaan sosial.

Baca Juga:  3 Pelaku Narkoba Diringkus Polisi, 1 Diantaranya Masih Pelajar

Apa yang Bisa Dipelajari?

Pasca konflik ini, ada sejumlah pelajaran penting bagi Bone, bahkan bagi daerah lain di Indonesia. Pertama, Kepastian Hukum Tidak Boleh Dilanggar Penetapan NJOP dan tarif pajak harus dilakukan sesuai mekanisme hukum. Tidak bisa diberlakukan di tengah jalan karena hal itu menciptakan kesan sewenang-wenang. Kedua, Sosialisasi Lebih Penting daripada Angka
Kenaikan 10 persen pun bisa dianggap beban jika masyarakat tidak diberi pemahaman.

Sebaliknya, kenaikan lebih besar bisa diterima jika dijelaskan dengan transparan, menunjukkan manfaat, dan dilakukan bertahap. Ketiga, Skema Bertahap dan Perlindungan Kelompok Rentan
Alih-alih langsung memberlakukan kenaikan besar, pemerintah bisa membuat skema bertahap selama beberapa tahun. Petani, pedagang kecil, dan warga miskin perlu diberikan subsidi silang atau insentif agar tidak semakin tertekan. Keempat, dialog, Bukan Represi Demonstrasi adalah hak demokratis. Pemerintah seharusnya hadir, berdialog, dan mendengar, bukan menghindar. Represi hanya memperdalam luka sosial, sementara dialog membuka jalan kepercayaan. Kelima, bangun Kepercayaan Publik dengan Akuntabilitas Pajak akan diterima dengan lebih ikhlas jika masyarakat melihat bukti nyata: jalan yang diperbaiki, sekolah yang dibangun, layanan publik yang membaik. Tanpa itu, pajak hanya dipandang sebagai pungutan, bukan kontribusi.

Baca Juga:  Dugaan Polisi Bekingi Tambang Ilegal, LSM Bone Bakal Lapor Kapolri

Momentum untuk Memulihkan Relasi Negara dan Masyarakat

Pasca konflik, Kabupaten Bone berada di persimpangan jalan. Pemerintah bisa memilih jalan mudah: menunda sebentar, lalu memberlakukan kebijakan yang sama tanpa perubahan mendasar. Namun, itu hanya akan memperpanjang siklus ketidakpercayaan. Pilihan yang lebih bijak adalah menjadikan konflik ini sebagai momentum perbaikan tata kelola fiskal. Pemerintah bisa membuka data NJOP secara transparan, mengundang partisipasi DPRD dan organisasi masyarakat sipil, serta membangun forum dengar pendapat reguler dengan warga. Dalam perspektif demokrasi deliberatif, legitimasi politik lahir bukan dari kekuasaan formal, melainkan dari proses komunikasi yang terbuka. Bone bisa menjadi contoh bagaimana konflik diubah menjadi energi positif untuk memperkuat relasi negara dan masyarakat.

Konflik pajak di Bone mengajarkan kita bahwa kebijakan fiskal tidak boleh hanya dihitung dengan kalkulator, tetapi juga dengan hati nurani sosial. Angka boleh naik, tetapi tanpa rasa keadilan, kebijakan itu akan selalu ditolak. Kini, pemerintah Bone memiliki peluang emas. Dengan langkah berani—membangun dialog, transparansi, dan akuntabilitas—Bone bisa keluar dari bayang-bayang konflik menuju tata kelola fiskal yang berkeadilan. Pajak mestinya tidak dipandang sebagai beban, melainkan sebagai gotong royong. Namun, gotong royong hanya mungkin jika ada kepercayaan. Dan kepercayaan lahir dari pemerintahan yang mau mendengar suara rakyatnya. Bone sudah memberi pelajaran mahal. Semoga kali ini, pemerintah benar-benar belajar. Kini, pasca gejolak, pemerintah daerah memiliki peluang emas untuk merawat kembali kepercayaan publik. Jangan biarkan pajak menjadi simbol penindasan, jadikan ia sebagai tanda gotong royong demi Bone yang lebih adil dan sejahtera.

Penulis : Andi Dody (Sosiolog, Universitas Negeri Makassar)