BONEKU.COM-Dalam berbagai literasi, diungkapkan bahwa munculnya To Manurung adalah sebuah jawaban ketidak stabilan situasi dan kondisi Bone saat itu.
Sianre Bale, itulah fakta yang disodorkan dalam berbagai catatan tersebut. Sianre Bale dapat dimaknai sebagai kiasan kekacauan, Perang saudara.
Dan dari sinilah sejarah Bone mulai diukir. To Manurung yang oleh banyak ahli digambarkan sebagai manusia suci.
Sebelum Tomanurung menampakkan diri, dicerikan bahwa sebelum Kerajaan Bone terbentuk, telah ada kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk. Itu terlihat sesuai hubungan kekerabatan antar mereka yaitu, satu keturunan(nenek moyang) yang disebut dengan Wanua, dan setiap Wanua di pimpin oleh Matoa-Ulu-Anang.
Beberapa Wanua yang terbentuk di Tana Bone tersebut, seperti Wanua Awangpone, Ta’, Ponceng, Palakka, Cenrana, Ujung, Macege, Tibojong, Tanete ri Attang, Tanete ri Awang, Cina, Salomeko, Barebbo dan Lamuru.
Setiap Wanua, oleh Mattulada, disebutkan bahwa setiap wanua mengucilkan diri mereka dalam wilayah territorial yang tertutup terhadap Wanua lainnya (Mattulada, 1998).
Walaupun pada kenyataannya disetiap kelompok masyarakat memiliki pemimpin, tapi ternyata antar Wanua dengan Wanua lain, selalu muncul pertikaian antar mereka yang tak berkesudahan.Seperti yang dikatakan oleh T. Hobbes, “Homo Homini Lupus”, keadaan dunia manusia sebeleum adanya negeri, kacau balau adanya. Sebagaimana yang di gambarkan oleh Lontara’, keadaan ini disebut Sianre-bale-taue (manusia saling bertikai/ serang seperti ikan).
Kondisi tersebut tentu mengharuskan hadirnya seorang pemimpin yang kharismatik dan teqas, santun dan dihormati.
Ya, mereka butuh panutan. Dan itulah To Manurung, yang kehadirannya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum, melalui penggunaan dan mobilisasi potensi alamiah manusia secara serasi untuk mencapai tujuan bersama (Mattulada,1998)
Dalam keadaan kacau balau yang terjadi di Tana Bone itu, muncullah To-Manurung sebgai panutan, pahlawan, dan juru selamat untuk masyarakat di Tana Bone dan mengatasi kerisis kepimimpinan yang terjadi setiap Matoa-Ulu-Anang. Melalui perjanjian antara para Matoa-Ulu-Anang dengan To-Manurung, disepakatilah To-Manurung sebagai pemimpin tertinggi dan panutan di Tana Bone, hingga masa pemerintahannya 1330-1365.
***
Usai pemerintahan To Manurung si Mata LompoE, pemerintahan pun berlanjut ke
LA UMMASA, PETTA PANRE BESSIE (1365-1368). Hal yang menarik adalah adanya gelaran Panre BessiE.
Dalam catatan sejarah, LA UMMASA menggantikan Si Mata Lompoe Manurunge ri Matajang sebagai raja kedua. Setelah La Ummasa meninggal maka digelarlah To Mulaiye Panreng (orang yang mula-mula dikuburkan). La Ummasa hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) kalau dia bepergian untuk melindungi diri dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung di Bone.
La Ummasa diberi pula gelaran Petta Panre Bessie (pandai besi). Gelaran itu disematkan karena dialah orang pertama menciptakan alat-alat dari besi di Bone.
Dengan kepiawaiannya, La Ummasa sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki berbagai kelebihan seperti daya ingatnya tajam, penuh perhatian, jujur, adil dan bijaksana.
***
Dalam kehidupan kekinian, kepiawaian La Ummasa menjadi warisan yang tak punah. Generasi yang mencintai parewa bessi tak lekang oleh zaman. Para panre terus bermunculan dan memiliki kelebihan menempah.
Bahkan di tahun 2020, diumur Bone ke 690 tahun kita akan disuguhi sebuah karya “kawali” yang memiliki strata tinggi. Kawali yang diberi nama La Mangkau ditempah oleh 40 panre bessi.
Ada persembahan sakral dalam Hari Jadi Bone ke-690 nanti. Kawali Mangkau Patappulo Panre atau badik yang dibuat oleh 40 Panre Bessi akan diserahkan dan disimpan di Museum Arajangnge, kompleks Rujab Bupati Bone.
Prosesi pembuatannya telah diawali di Paccing, Desa Lappo Ase, Kecamatan Awangpone. Jumat, 14 Februari lalu dimulainya pembuatan. Ada nuansa ritual 40 pandai besi yang berkumpul memulai prosesi ritual pembuatan Kawali Mangkau. Badik itu harus selesai pada 5 April mendatang. Malam Jumat. Sebelum hari jadi Bone yang ke 690 pada tanggal 6 April.
Gendang pun dibunyikan. Nuansa sumange bali sumange, yang artinya mengembalikan semangat pun merasuk dalam qolbu.
Ya, kita memang telah diwarisi kemampuan menempah oleh Sang Raja, Petta Panre BessiE. Kita diwarisi kreatifitas seni dan budaya yang bernilai tinggi.
Kini, 40 panre bessi menyatu untuk menghasilkan sebuah badik bernama La Mangkau. Nama ini diberikan oleh Bupati Bone, Andi Fahsar Mahdin Padjalangi, saat bertemu dengan pembrakarsa Alfian T Anugrah.
Sebuah sejarah kan terukir jika memang terwujud sesuai harapan. Karena
badik yang akan dibuat itu memiliki pamor-pamor, lingkaran bulan tiga disebut taring tellu yang maknanya lempu, getteng, ada tongeng. Ada Taring tellu, ure tuo (urat hidup), titik uleng mpuleng dan yang lainnya.
Kesemuanya ini akan menyatu dalam kawali La Mangkau lewat percikan api para panre bessi. Kekuatan “dewa api” menjinakkan kekuatan besi menjadi sebuah parewa yang bernilai tinggi, Badik. Dan Badik merupakan pelengkap bagi lelaki bugis.
Menyatunya 40 panre untuk mewujudkan sebuah karya badik, menyimbolkan kekuatan persatuan. Kita kuat karena kita bersatu.
Seperti dalam ungkapan bijak leluhur kita, Rebba sipatokkong, mali siparappe’, sirui me’nre tessurui nok, malilusipakainge, maingeppi mupaja. (Rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti).
Catatan Pinggir: Bahtiar Parenrengi
Tim Redaksi