BONEKU.COM-Puang Derri, begitu saya akrab menyebut namanya. Nama orang baik ini familiar bagi semua orang Bone. Nama pemimpin besar ini disegani.
Beliau pernah memimpin DPRD Bone sebagai legislator berdedikasi sekaligus memimpin Bone sebagai Bupati selama dua periode (2003-2013).
Beliau adalah H.A.M. Idris Galigo. Pemimpin Bone yang sulit dicari sepadannya.
Kini, beliau telah berpulang, menghadap keharibaan Allah SWT. Innalillahi wa Innailaihi rojiuun.
Tokoh penting itu telah pergi, menyisahkan kenangan baik bagi rakyat Bone.
Beliau telah meninggalkan kita semua, tetapi warisan adab, ilmu, karya dan ketauladan beliau, Insya Allah menjadi amal jariah. Semoga beliau husnul khatimah. Aamiin
Saya belajar adab berpolitik dari beliau, khususnya bagaimana menghadapi kritik dan tekanan. Almarhum adalah komunikator ulung.
Negoisator “menang-menang”. Beliau politisi yang berkarir dari bawah, walau ketokohan beliau dan talenta kepemimpinannya adalah genetik dari garis turunan Arungpone.
Saya mengalami masa-masa “keras” dan lembut bersama beliau.
Pernah beriteraksi sebagai demonstran saat beliau ketua DPRD dan saya sebagai ketua Mahasiswa Bone (KEPMI Bone).
Beliau memberi bantuan bangunan untuk asrama Bone saat saya menjadi ketua DPP KEPMI Bone. Bantuan itu penting dan terkenang bagi semua mahasiswa Bone, sebab beliaulah yang pertama memberi fasilitas itu saat asrama di Jl. Kalumpang Makassar itu puluhan tahun terbengkalai.
Saya juga pernah menjadi tim hore beliau saat almarhum jadi calon Bupati. Pernah pula saya ‘ngambek dan tidak mendukungnya saat periode kedua beliau.
Ketika itu saya baru menapak dunia politik dengan memulainya sebagai kepala desa di daerah terpencil.
Dukung-mendukung lebih sebagai pembelajaran. Tapi hati ini mengakui beliau figur yang kokoh dengan karakter yang kuat, sulit dikalahkan.
Saya juga menjadi mitranya saat menjadi anggota dan wakil ketua DPRD. Saat itu, saya telah menjadi politisi dan beliau tetap menjadi sosok “bapak” bagiku.
Mendiang adalah “orang tua”. Sosok Bapak bagi rakyat Bone. Saya merasakannya sebagai anak yang “nakal”. Walau sering beliau saya kritik, tetap saja jika bertemu ia memerankan dirinya sebagai bapak, bukan politisi.
Seolah beliau melupakan kritikan itu, walau pedas bagaimana pun. Tentu saya juga terkadang dimarahi dengan cara disentil halus atau dibisik bahwa Ia tidak menyukai pernyataan ku.
Marah beliau kepada saya keras, tapi tak bersuara. Marahnya hanya untukku, tidak diperdengarkan bagi yang lain.
Kata-katanya seolah menjadi sihir, seketika saya tertunduk padahal beliau tidak.marah secara langsung.
Puang Derri dan saya adalah pasang surut dalam hubungan politik, tetapi beliau tetap menjadi pemimpin yang kharismatik sekaligus sosok bapak bagiku. Bapak bagi kita semua orang Bone.
Terimakasih telah menjadi pemimpin Bone. Terimakasih telah menuntun saya sebagai politisi dengan ilmu dan ketauladanan yang baik.
Salama ki lisu’ di pammasseTa Puang. Duka yang begitu dalam dari kami sekeluarga.(*)
Tim Redaksi