Catatan Pinggir : Bahtiar Parenrengi 
WATAMPONE-Mudik menjadi pembicaraan tren diakhir Bulan Ramadhan. Pembicaraan yang cukup mendominasi dalam dunia Maya hingga didunia nyata.
Mudik menjadi penyebab bahan umpatan, baik di media sosial maupun dalam dunia nyata. Bahkan nampak terlihat banyak pemudik mengatur jadwal lebih awal agar bisa lebih bebas diperjalanan.
Mudik memang selalu menjadi perhatian pemerintah sejak dulu. Telah menjadi tugas yang lebih menyita perhatian dibanding dengan mengawali ramadhan. Mudik telah menjadi tradisi diakhir ramadhan, agar bisa berlebaran di kampung halaman.
               ***
Saya tak memiliki cerita atau pengalaman yang banyak soal mudik. Dulu, disaat kuliah memang lebih memilih lebaran di Makassar dibanding harus balik ke Bone.
Namun demikian, cerita mudik tetaplah ada. Mulai naik motor bareng dengan teman sekampung, hingga mudik menggunakan mobil truk pengangkut barang.
Masing-masing memiliki sensasi yang berbeda. Tentu tak seramai dengan sekarang. Karena saat itu, kendaraan tidak seramai dengan sekarang ini. Begitupun dengan aturan mudik, tak ada aturan yang melarang.
Dulu, masih merasakan keterbatan mobil penumpang umum. Masih dihitung jari, sehingga harus berebut tempat duduk saat akan mudik. Berdesak-desakan bukanlah halangan. Berdesak-desakan bukanlah masalah.
Hingga suatu ketika, saya harus memilih naik mobil truk pengangkut barang. Ada nuansa lain. Memiliki keasyikan tersendiri karena sopir mobil truk terkadang harus singgah beberapa kali untuk ngopi. Bahkan nginap disalah satu warung.
Tentu beda dengan mobil bus atau mobil funter (istilah trennya). Waktu Tempuh bisa lebih singkat, empat hingga lima jam. Tergantung sopirnya, kalau tak ngantuk habis mencicipi sajian di warung langganannya.
Menunya cukup beragam. Mulai ikan, telur, ayam hingga sup. Hingga suatu hari, seorang penumpang nyeletuk bahwa jadi sopir mobil penumpang itu enak. Bisa menikmati makanan yang enak dibanding dengan pemilik mobil yang terkadang pusing tujuh keliling memikirkan setoran.
                ***
Mari bergembira. Seolah itulah harapan dari Bulan Ramadhan. Bergembira bukan berarti berpestapora hingga batas khilaf.
Bergembira karena kita telah melewati cobaan saum yang begitu beragam. Bergembira karena kita telah meniti hidup menjadi manusia bertaqwa. 
Bergembira karena berbagai cobaan makanan dan minuman disiang hari tak merusak iman kita untuk merasakannya. Dan bergembira karena mampu merasakan dimensi keIlahian dalam keseharian kita.
Bergembiralah, karena tak lama lagi restoran, rumah makan dan warkop pada buka disiang hari. Kita tak segan lagi untuk masuk restoran, rumah makan dan warkop di siang hari. Kita tak perlu lagi diam-diam masuk dipintu belakang atau samping, untuk menikmati sesuatu saat warga lainnya menunaikan puasa ramadhan.
Bergembiralah, walau lebaran kali ini tak mudik. Kita diharapkan menahan diri dan turut andil dalam pencegahan penyebaran Covid 19. Protes di dunia nyata dan Maya gencar kita baca. Yakinlah bahwa semua ini ada hikmahnya. 
Dan kita juga berharap agar hati dan pikiran kita juga dimudik-kan. Kembali ke fitrah. Kembali kepada pengakuan syahadat. Bukankah esensi dari puasa menuntun kita menjadi manusia suci? Manusia yang bertaqwa.
Olehnya itu, tentu tak ada salahnya tetap bergembira walau kita tidak mudik. Selamat berlebaran, Taqobbalallahu minna wa minkum, “Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian” dan mohon maaf lahir dan bathin.(*)
Baca Juga:  Bawaslu RI Pantau Proses PSU di Bone